Tuesday, 2 October 2012


Kata Nabi, Senyum tulusmu kepada saudaramu itu Sedekah, Semua kita bisa tersenyum, tapi tidak semua senym bisa disebut sedekah lho, lha kalo ada cewek cantik atau cowok ganteng senyum-senyum sama kita, apa artinya? he he he... jangan diterusin ntar keterusan lagi.. Ya ya ya ada senyuman yang menggoda, ada senyuman ejekan bahkan senyum berarti dendampun kerap terjadi, Namun ternyata tidak semua orang mampu bersedekah dengan senyum, coba sekarang senyum deh, lalu rasakan getaran sejuk dalam dada kita.....
--------------------------------
Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada disekitar kami. Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub bagaimana cara ia menyapa…

Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum lebar faiz.

“Selamat pagi, pak, selamat pagi bu….”

“Assalamu’alaikum…”

“mari oma, mari opa….”

“dari mana Tante…?”

“Wah hari ini kakak berseri sekali”

“Mau kuliah bang?”

“eh ketemu adik cakep.. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?” Dan seterusnya…..

Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz, “Mas Faiz, apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?”

“Faiz tertawa. “ Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan mengawali pagiku saja tapi juga mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itukan sedekah, Bunda.” Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum genap berumur delapan tahun.

“Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran”, ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.

Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap membicarakan Faiz.
“Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya, dia selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali.”

“kok bisa seperti itu sih bu? Bagaimana mendidiknya?” tanya salah satu peserta arisan kepada Bunda Faiz. Bunda Faiz hanya tersenyum. Bagaimana saya harus mengatakannya, ya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz.

Terbayang lagi oleh Bundanya berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di bangku SD. Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya, diajak makan dan minum. “ Pak kemari mampir dulu, hari ini di Bundaku masak sop dan perkedel.” Atau “Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk “?. Atau “mau teh manis dingin?” dan seringkali ia berlari ke kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.

Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya.”Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek.hari ini panas sekali, lho. Sini makan kue dan minum dulu, atau mau makan nasi?” Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya. “apa salahnya sih menolong orang?” ujarnya.

Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari dimana kami memasak sekedar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa. Karena Faiz mengundang mereka secara tak terduga.

“Ikhlas yaaa Bunda…..,” katanya sambil tersenyum manis. Tak ada kata lagi yang bisa Bunda Faiz ucapkan, selain senyum bahagia atas anugerah anak yang baik dan sholeh itu, sambil dia peluk erat anaknya, Bunda Faiz berbisik, ” Terima kasih anakku, kamu telah membuat hidup Bunda begitu bahagia ”.




Tagged:

0 comments:

Post a Comment