Kata
Nabi, Senyum tulusmu kepada saudaramu itu Sedekah, Semua kita bisa tersenyum,
tapi tidak semua senym bisa disebut sedekah lho, lha kalo ada cewek cantik atau
cowok ganteng senyum-senyum sama kita, apa artinya? he he he... jangan
diterusin ntar keterusan lagi.. Ya ya ya ada senyuman yang menggoda, ada
senyuman ejekan bahkan senyum berarti dendampun kerap terjadi, Namun ternyata
tidak semua orang mampu bersedekah dengan senyum, coba sekarang senyum deh,
lalu rasakan getaran sejuk dalam dada kita.....
--------------------------------
Setiap
hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari rumah, Faiz
akan melewati deretan panjang rumah yang ada disekitar kami. Empat tahun yang
lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub bagaimana cara ia menyapa…
Semua
tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan, tak akan luput dari
teguran ramah disertai senyum lebar faiz.
“Selamat
pagi, pak, selamat pagi bu….”
“Assalamu’alaikum…”
“mari
oma, mari opa….”
“dari
mana Tante…?”
“Wah
hari ini kakak berseri sekali”
“Mau
kuliah bang?”
“eh
ketemu adik cakep.. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?” Dan seterusnya…..
Saat
ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz, “Mas Faiz, apa kamu
tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?”
“Faiz
tertawa. “ Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan
mengawali pagiku saja tapi juga mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum
itukan sedekah, Bunda.” Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu
itu belum genap berumur delapan tahun.
“Subhanallah.
Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran”, ujar saya sambil
mencium pipi Faiz yang memerah.
Setiap
kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap
membicarakan Faiz.
“Waduh,
Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya, dia selalu menegur lebih
dulu, senyumnya manis sekali.”
“kok
bisa seperti itu sih bu? Bagaimana mendidiknya?” tanya salah satu peserta
arisan kepada Bunda Faiz. Bunda Faiz hanya tersenyum. Bagaimana saya harus
mengatakannya, ya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik Faiz secara khusus
untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz.
Terbayang
lagi oleh Bundanya berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di
bangku SD. Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu
dipanggilnya, diajak makan dan minum. “ Pak kemari mampir dulu, hari ini di
Bundaku masak sop dan perkedel.” Atau “Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar
tidak mengantuk “?. Atau “mau teh manis dingin?” dan seringkali ia berlari ke
kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk
diberikan pada mereka.
Belum
lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh mampir.
Ada saja yang ditawarkannya.”Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek.hari ini
panas sekali, lho. Sini makan kue dan minum dulu, atau mau makan nasi?” Selain
itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu
dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya. “apa salahnya
sih menolong orang?” ujarnya.
Maka
di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari dimana kami memasak
sekedar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa.
Karena Faiz mengundang mereka secara tak terduga.
“Ikhlas
yaaa Bunda…..,” katanya sambil tersenyum manis. Tak ada kata lagi yang bisa
Bunda Faiz ucapkan, selain senyum bahagia atas anugerah anak yang baik dan
sholeh itu, sambil dia peluk erat anaknya, Bunda Faiz berbisik, ” Terima kasih
anakku, kamu telah membuat hidup Bunda begitu bahagia ”.